LAPORAN HASIL
PENELITIAN
“ETNOGRAFI DAN
ETNOLINGUISTIK DI DAERAH SULAWESI SELATAN”
Kelas : XII - Bahasa
Bidang
Study : Antropologi
Guru
Pembimbing : Bapak Drs. H. Sofyan Sauri
Madrasah Aliyah
Al-Falah
Tahun Ajaran
2013/2014
Disusun oleh :
Kelompok II
1.
Ahmad Fairuzi
2.
Ardiansyah
3.
Muhamad Dzurraihan
4.
Muhammad Reza Farchan
5.
Rizki Ramadhan
KATA PENGANTARAssalamu’alaikum Wr.WbTiada kalam yang indah selain ucapan rasa syukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT. yang telah memberikan petunjuk bagi kami, sehingga kami telah berhasil menyelesaikan makalah ini, dalam rangka memenuhi Tugas Antropologi.Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada junjungan yang mulia, Nabi Muhammad S.A.W beserta para keluarganya, para sahabatnya serta para pengikutnya, semoga kita mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat nanti, amien.Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu kami dalam menyelesaikan Makalah ini, terutama kepada:1. Allah SWT2. Nabi Muhammad SAW3. Kedua orang tua kami4. Bapak Drs. H. Sofyan Sauri selaku guru Antropologi5. Teman-teman yang telah memberi dukunganKami menyadari, meskipun segenap kemampuan telah kami curahkan dan usaha yang maksimal telah kami lakukan, namun makalah ini masih sangat jauh dari sempurna serta masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan pada berbagi sisi.Kami sangat senang jika pembaca dapat memberi saran ataupun kritik. Karena kami hanya mahluk yang tidak sempurna.Wassalamu’alaikum Wr.Wb
DAFTAR ISIKata Pengantar ……………………………………………….....…………………….… iDaftar Isi ……………………………………………………………………………..… iiBAB I PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang ……..….…………………………………………………. 11.2. Tujuan Hasil Penelitian …………………….…………………..…...….… 21.3. Manfaat Hasil Penelitian ……………………………….………………… 31.4. Metode Hasil Penelitian………………………….………..……………… 31.5. Sistematika Penulisan ……...…………………………….……...………... 3BAB II Etnografi dan Etnolinguistik di Daerah Sulawesi Selatan2.1. Etnografi dan Etnolinguistik Bugis – Makassar........................................ 42.1.1. Sistem Religi …………………………………………….…. 52.1.2. Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial ……………… 52.1.3. Sistem Pengetahuan ………………………………………... 62.1.4. Bahasa …………………………………………………….... 62.1.5. Kesenian …………………………………………………..... 62.1.6. Sistem mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi ………………...... 82.1.7. Sistem Tehnologi …………….....………………….……………….. 82.2. Etnografi dan Etnolinguistik Toraja………………………….......………..…...… 82.2.1. Sistem Religi ……………………………………….………. 92.2.2. Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial …………..… 102.2.3. Sistem Pengetahuan …………………………...……..……. 112.2.4. Bahasa ………………………………………….…..……... 112.2.5. Kesenian …………………………………..……….……… 122.2.6. Sistem mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi ……….......……. 142.2.7. Sistem Tehnologi ………………………………………..…......….. 14BAB III PENUTUP3.1. Kesimpulan ……………………………………………………..…..….. 163.2. Saran …………………………………………………….……...……… 17Lampiran ………………………………………………………………………………18Daftar Pustaka ……………………………………………………………….....…….. 24
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia kaya
akan keanekaragaman suku, agama, dan bahasa yang memungkinkan diadakannya
penelitian di bidang Etnografi dan
Etnoliguistik. Pengetahuan dan penelitian Etnografi dan Etnolinguistik sangat bagus untuk inventarisasi,
dokumentasi, dan referensi. Dalam mencari identitas bangsa Indonesia, sangat
perlu menelusuri keberadaan Etnografi
dan Etnolinguistik sebagai bagian kebudayaan bangsa.
Kebudayaan
di daerah Sulawesi Selatan sebenarnya tergolong banyak, terutama suku/
etnisnya. Jika dilihat dari segi mayoritas penduduk hanya terdapat beberapa
kelompok etnis besar yang berada di daerah Sulawesi Selatan. Diantaranya ;
Bugis - Makassar dan Toraja. Begitu pula dalam pemakaian bahasa sehari-hari,
memang kelompok etnis inilah yang terlihat lebih dominan diantara banyaknya
bahasa yang digunakan etnis minoritas yang ada di Sulawesi Selatan.
Suku
Bugis - Makassar adalah salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan yang
memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Salah satu kekayaan Bugis ialah folklor.
Folklor dalam masyarakat Bugis biasanya ditrasmisikan dari satu generasi ke
generasi lainnya melalui penuturan lisan.
Bugis
adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya di
Yunan.
Sementara
itu, suku Toraja banyak memiliki ciri khas salah satunya adalah kebudayaan adat
Tana Toraja yang sangat menarik dan juga ditambah lagi banyaknya publikasi dari
beberapa stasiun televise lokal dan swasta, dan juga program pariwisata daerah,
sehingga membuat adat Tana Toraja lebih dikenal dan menjadi unggulan oleh
masyarakat dari dalam dan luar negeri.
1.2 Tujuan Hasil Penelitian
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk wawasan
kepada pembaca tentang kebudayaan – kebudayaan yang ada di daerah Sulawesi
Selatan. Diantaranya :
1.
Sistem religi
2.
Sistem
kemasyarakatan dan organisasi sosial
3.
Sistem pengetahuan
4.
Bahasa
5.
Kesenian
6.
Sistem
mata pencaharian hidup/sistem ekonomi
7.
Sistem
tehnologi
Dalam hal ini, kebudayaan merupakan hal yang
begitu sangat kompleks dalam masyarakat, karena dalam kebudayaan itu mengandung
banyak arti tentang interaksi setiap individu dengan individu meupun dengan
kelompok tersebut.
Kebudayaan
itu sendiri adalah hasil dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Setiap kebudayaan pun sangat erat kaitannya dengan kehidupan suatu kelompok di
suatu tempat, karena setiap berbedanya tempat kelompok tinggal, berbeda pula
kebudayaan yang di anut kelompok tersebut.
Kebudayaan
diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengatasi berbagai problem
yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui suatu proses berfikir yang
diekspresikan kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud kebudayaan manusia
adalah tulisan. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya.
Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk
mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.
Masih banyak hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan
yang tidak akan ada habisnya, dan masih banyak misteri dalam setiap
kebudayaan yang ada hingga saat ini.
1.3.Manfaat
Hasil Penelitian
Manfaat yang dapat
diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Membantu
siswa dan siswi untuk memahami kebudayaan lokal
1. Membantu
siswa - siswi dalam melestarikan nilai-nilai budaya yang di miliki suku – suku
yang ada di daerah Sulawesi Selatan.
2. Memberikan
manfaat bagi siswa dan siswi dalam mengkaji nilai-nilai budaya dalam suku – suku yang ada di daerah Sulawesi
Selatan.
3. Memberikan
sumbangsi pemikiran terhadap penggunaan bahasa – bahasa daerah Sulawesi Selatan
untuk siswa dan siswi bagi penelitian, akademisi, dan lain-lain.
4. Sebagai
bahan perbandingan bagi pihak yang ingin meneliti kebudayaan di daerah Sulawesi
Selatan.
1.4.Metode
Penulisan
Metode
yang penulis gunakan adalah adalah metode observasi dan metode interview, yaitu
melakukan pengamatan dan melakukan wawancara terhadap narasumber.
1.5.Sistematika
Penulisan
Sistematika karya tulis ini terdiri dari kata pengantar, daftar isi, Bab I tentang pendahuluan yang berisi latar
belakang, tujuan, manfaat, metode, dan sistematika. Bab II yang berhubungan dengan
Etnografi dan Etnolinguistik di Daerah Sulawesi Selatan yang terdiri dari
sistem religi, sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial, sistem pengetahuan,
bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian/sistem ekonomi, sistem tehnologi. Bab
III tentang kesimpulan dan saran-saran yang diakhiri dengan daftar pustaka.
BAB II
Etnografi dan
Etnolinguistik di Daerah Sulawesi Selatan
Kebudayaan adalah hasil
manusia baik yang bersifat materi, maupun yang nonmateri. Seperti detailnya
bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem matapencaharian hidup
(ekonomi); peralatan hidup (tehnologi); ilmu pengetahuan; sistem sosial;bahasa;
kesenian; dan sistem religi. Jika dihubungkan dengan sejarah, maka kebudayaan
sangat erat kaitannya karenasejarah adalah suatu ilmu yang selalu membahas
ketujuh unsur kebudayaan dilihat dari waktunya.
Kebudayaan
di daerah Sulawesi Selatan sebenarnya tergolong banyak, terutama suku/
etnisnya. Jika dilihat dari segi mayoritas penduduk hanya terdapat beberapa
kelompok etnis besar yang berada di daerah Sulawesi Selatan. Diantaranya ;
Bugis - Makassar dan Toraja. Begitu pula dalam pemakaian bahasa sehari-hari,
memang kelompok etnis inilah yang terlihat lebih dominan diantara banyaknya
bahasa yang digunakan etnis minoritas yang ada di Sulawesi Selatan.
2.1. Etnografi dan Etnolinguistik Bugis –
Makassar
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam
suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratan Asia tepatnya
Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang
Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang
terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat
ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka
mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau
orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We
Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading
sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di
dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware
(Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La
Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi
seperti Buton.
2.1.1.
Sistem Religi
Agama mayoritas orang Bugis – Makassar adalah Islam. Selain
itu ada juga yang beragama Kristen Protestan dan Katolik.
Masyarakat Bugis banyak
tinggal di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Mereka penganut Islam yang taat.
Masyarakat Bugis juga masih percaya dengan satu dewa tunggal yang mempunyai
nama-nama sebagai berikut.
- Patoto-e adalah dewa penentu nasib.
- Dewata Seuwa-e adalah dewa tunggal.
- Turie a’rana adalah kehendak tertinggi.
Masyarakat Bugis menganggap
bahwa budaya (adat) itu keramat. Budaya (adat) tersebut didasarkan atas lima
unsur pokok panngaderreng (aturan adat yang keramat dan sakral), yaitu sebagai
berikut.
- Ade (‘ada dalam bahasa Makassar).
- Bicara.
- Rapang.
- Wari’.
- Sara’.
2.1.2.
Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial
Dalam stratifikasi sosial masyarakat Bugis –
Makassar ada tiga lapisan masyarakat :
1.
Anakarung, yaitu lapisan kaum kerabat raja
2.
To-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka yang sebagian besar merupakan
rakyat Sulawesi Selatan.
3.
Ata, yaitu lapisan budak .
Perkawinan yang ideal di
Makassar sebagai berikut.
- Assialang Marola adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu baik dari pihak ayah/ibu.
- Assialanna Memang adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua baik dari pihak ayah/ibu.
Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan anak dengan
ayah/ibu dan menantu dengan mertua.
Kegiatan-kegiatan sebelum
perkawinan, meliputi:
- Mappuce-puce adalah meminang gadis,
- Massuro adalah menentukan tanggal pernikahan,
- Maddupa adalah mengundang dalam pesta perkawinan.
Perkawinan yang biasa ada di Bugis – Makassar
disebut Mapabothi
2.1.3.
Sistem Pengetahuan
Lontar adalah salah
satu tumbuhan di daerah Bugis – Makassar, lontar adalah sejenis palma yang
tumbnuh di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Burung Rangkong Julang Sulawesi yang
tergabung dalam marga Bucerotidae adalah salah satu hewan yang ada di Sulawesi
Selatan. Di sana juga ada tanaman kopi, coklat, cengkeh,
rotan, kayu, semen, nikel, gula.
2.1.4.
Bahasa
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik
Bugis di Sulawesi Selatan. Bahasa tersebut tersebar di berbagai kabupaten di
daerah Sulawesi Selatan.
2.1.5.
Kesenian
Kesenian Bugis
yang merupakan salah satu yang terkenal dari karya sastra Bugisadalah naskah
tua I La Galigo. Lagu daerah propinsi Sulawesi
Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan di antaranya adalah lagu
yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu Pakarena serta
lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnis Bugis adalah lagu
Indo Logo, serta lagu Bulu AlainaTempe.
Rumah tradisional atau rumah adat di
propinsi Sulawesi Selatan yang berasal dari Bugis, Makassar dan Tana toraja
dari segi arsitektur tradisional ke tiga daerah tersebut hampir sama bentuknya.
Rumah-rumah adat tersebut dibangun di atas tiang-tiang sehingga rumah adat yang
ada di sana mempunyai kolong di bawah rumahnya.
Tinggi kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk tiap tingkatannya dengan status sosial pemilik rumah, misalnya apakah seorang raja, bangsawan, orang berpangkat atau hanya rakyat biasa. Hampir semua masyarakat Sulsel percaya kalau selama ini penghuni pertama zaman prasejarah di Sulawesi Selatan adalah orang "Toale". Hal ini di dasarkan pada temuan Fritz dan Paul Sarasin tentang orang Toale (orang-orang yang tinggal di hutan/penghuni hutan).
Rumah
adat suku bangsa Bugis Makassar berupa panggung yang terdiri atas 3 bagian
sebagai berikut :
- Kalle balla adalah untuk tamu, tidur,dan makan.
- Pammakkang adalah untuk menyimpan pusaka.
- Passiringang adalah untuk menyimpan alat pertanian.
Tari Padupa Bosara merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedatangan tamu senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.
Di
daerah Bugis – Makassar mempunyai seni drama
/ seni pertunjukan yaitu lagaligo dan icudae.
Alat musik di daerah Bugis – Makassar yaitu
Kacapi (kecapi), alat musik ini adalah alat
musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar
dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh
seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai,
diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada
acara penjemputan para tamu, perkawinan,
hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun. Sedangkan Sinrili adalah alat
musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan membaringkan
di pundak sedang sinrili di mainkan dalam keedaan pemain duduk dan alat
diletakkan tegak di depan pemainnya.
Gendang adalah alat musik perkusi
yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana. Sedangkan
suling bambu/buluh, terdiri dari tiga
jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco), sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco), sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.
• Suling
dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan
Lembang. Biasanya digunakan pada acara
karnaval (baris-berbaris) atau disebut juga acara penjemputan tamu.
2.1.6. Sistem
mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi
Masyarakat Bugis – Makassar yang berdomisili
di daerah pesisir pantai menggantungkan hidup dari melaut di laut, mencari ikan.
Keberaniaan orang Bugis – Makassar dalam
dalam pelayaran yang dijunjung tinggi oleh orang-orang
bugis-makassar,yaitu yang dikenal dengan ade`allopiloping bicaranna pabbalu’e
dan yang ditulis pada lontar yaitu amanna gappa di abad ke-17.
2.1.7. Sistem
Tehnologi
Masyarakat Bugis – Makassar terkenal sangat piawai dalam membuat perahu
pinisi. Tehnologi di daerah Bugis – Makassar sudah
sangat canggih, alat transportasi di sana antara lain ; becak, dokar, perahu,
mobil, dan lain-lain. Perahu di sana mempunyai tiga kegunaan, yaitu ; untuk
mengangkut barang (bakgo), untuk mencari ikan, untuk mengangkut orang dari satu
tempat ke tempat yang lain (pinisi). Pakaian daerah Bugis –Makassar adalah baju
Bodo, senjata daerahnya adalah badik.
2.2. Etnografi dan Etnolinguistik Toraja
Menurut data sejarah, penduduk yang pertama-tama
menduduki/mendiami daerah Toraja pada zaman purba adalah penduduk yang bergerak
dari arah Selatan dengan perahu. Mereka datang dalam bentuk kelompok yang
dinamai Arroan (kelompok manusia). Setiap Arroan dipimpin oleh seorang pemimpin
yang dinamai Ambe' Arroan (Ambe' = bapak, Arroan = kelompok). Setelah itu
datang penguasa baru yang dikenal dalam sejarah Toraja dengan nama Puang
Lembang yang artinya pemilik perahu, karena mereka datang dengan mempergunakan
perahu menyusuri sungai-sungai besar. Pada waktu perahu mereka sudah tidak
dapat diteruskan karena derasnya air sungai dan bebatuan, maka mereka
membongkar perahunya untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Tempat mereka
menambatkan perahunya dan membuat rumah pertama kali dinamai Bamba Puang
artinya pangkalan pusat pemilik perahu sampai sekarang.
Hingga kini kita akan melihat disekitar Ranteapo terdapat
beberapa Bamba Puang milik keluarga-keluarga paling berpengaruh dan terkaya
disitu yang mendirikan Tongkonan (rumah adat Tator) beserta belasan lumbung
padinya. Setiap Tongkonan satu keluarga besar dihiasi oleh puluhan tanduk
kerbau yg dipakai untuk menjelaskan status sosial dalam strata masyarakat adat.
Tongkonan itulah yang menjadi atraksi budaya dan menjadi obyek foto ratusan
turis yang mendatangi tator.
2.2.1.
Sistem Religi
Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah
dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan
tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem
kemasyarakatan dan sistem kepecayaan.
Dalam hal kepercayaan penduduk Suku
Toraja telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu
disebut dengan istilah Puang
Matua (Tuhan yang
maha mulia). Penganut Aluk
Todolo relatif terbuka
terhadap modernisasi dan dunia luar. Mereka meyakini, aturan yang dibuat
leluhurnya akan memberikan rasa aman, mendamaikan, menyejahterakan, serta
memberi kemakmuran warga.
Kepercaan Aluk Todolo bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi
juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk Todolo mengatur kehidupan bermasyarakat,
praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk Todolo bisa berbeda antara satu desa dengan
desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.
Kedua ritual tersebut sama pentingnya.
Di
Tana Toraja tradisi menghormati kematian dikenal dengan upacara Rambu Solo'.
Persamaan dari ketiganya: ritual upacara kematian dan penguburan jenazah. Di
Tana Toraja sendiri memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu
Tuka. Rambu Solo' merupakan upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka, adalah
upacara adat selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai
direnovasi.
Upacara
ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila
bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk
keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan.
Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100
ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor
kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.
2.2.2.
Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam
suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki
nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek
umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan
sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk
mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal
balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian,
berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Kelas Sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan
keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial:
bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh
pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak
diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi
diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan
untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari
Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena
alasan martabat keluarga.
Kaum
bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat
tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi
para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga
kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan
kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga
beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti
pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah
kerbau yang dimiliki.
2.2.3.
Sistem Pengetahuan
Di Tanah Toraja terdapat beberapa
kesenian yang dapat memberikan suatu pengetahuan secara tak langsung tentang
adat dan istiadat serta pengetahuan tentang sejarah Tanah
Toraja.DiantaranyakesenianupacaraRambuTuka’.
Upacara syukuran atau Rambu Tuka’, antara lain adalah upacara perkawinan, maupun selamatan rumah (membangun rumah, merenovasi atau memasuki rumah baru). Upacara selamatan rumah disebut juga upacara pentahbisan rumah. Upacara jenis ini harus dilaksanakan pagi hari dan diharapkan selesai di sore hari. Pemotongan hewan korban juga dilakukan, namun jumlahnya tidak sebanyak saat upacara kematian. Itu juga yang menyebabkan banyak anggapan bahwa upacara kematian di Tator memang lebih meriah dibandingkan upacara lainnya
2.2.4.
Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja
dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi
bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa,
Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa
Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana
Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri.
Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja
menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang
diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja.
2.2.5.
Kesenian
Ukiran
Kayu
Melihat Rumah Adat Tongkonan Toraja, yang sangat menarik
adalah variasi gambar dan simbol yang diukir menghiasi semua bagiannya.
Ukiran-ukiran tersebut untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial suku
Toraja yang disebut Pa’ssura (Penyampaian). Oleh karena itu, ukiran kayu
merupakan perwujudan budaya Toraja. Pola yang terukir memiliki makna
dengan presentase simbol tertentu dari pemilik atau rumpun keluarga yang punya
nilai magis. Ukiran-ukiran Toraja itu diyakini memiliki kekuatan alam atau
supranatural tertentu.
Diperkirakan, tidak kurang dari 67 jenis ukiran dengan
aneka corak dan makna. Warna-warna yang dominan adalah merah, kunig, putih dan
hitam. Semua sumber warna berasal dari tanah liat yang disebut Litak kecuali
warna hitam yang berasal dari jelaga atau bagian dalam pisang muda. Pencipta
awal mula ukiran-ukiran magis ini diyakini dari Ne’ Limbongan yang mana
simbolnya adalah berupa lingkaran berbatas bujur sangkar bermakna mata angin.
Setiap
pola ukiran abstrak punya nama dan kisah antara lain motif “empat lingkaran
yang ada dalam bujur sangkar” biasanya ada di pucuk rumah yang melambangkan
kebesaran dan keagungan. Makna yang terkandung dalam simbol-simbol itu antara
lain simbol kebesaran bangsawan ( motif paku), simbol persatuan (motif
lingkaran 2 angka delapan), simbol penyimpanan harta ( motif empat lingkaran
berpotongan dan bersimpul) dll. Selain motif-motif abstrak itu, beragam
pula pola-pola yang realistis mengikuti bentuk binatang tertentu antara lain
burung bangau (motif Korong), motif bebek ( Kotte), Anjing ( motif Asu), Kerbau
( Tedong), Babi ( Bai) dan ayam ( Pa’manuk Londong).
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan
dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan
untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakaman.
Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum
semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai
besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya.
Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi
menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa
melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.
Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan
kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak
lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut
Ma'dondan.
Musik Tradisional
§ Passuling
§
Pa’pelle/Pa’barrung
§
Pa’pompang/Pa’bas
§ Pa’tulali
§
Pa’geso’geso’
Lagu-Lagu khas Toraja
§
Siulu’
§
Lembang Sura’
§
Marendeng Marampa’
§
Siulu’ Umba Muola
§
Passukaranku
§
Katuoan Mala’bi’
§
Susi Angin Mamiri
§
Kelalambunmi Allo
§
Tontong Kukilalai
2.2.6. Sistem
mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi
Sebelum masa Orde Baru,
ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di
lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung.
Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi,
dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai
makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang,
Kopi Toraja.
Ekonomi Toraja secara
bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984
dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi
pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan
ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di
Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja
lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama
dijalankan oleh pengusaha kecil.
2.2.7. Sistem
Tehnologi
Rumah Adat Toraja disebut Tongkonan.
Tongkonan sendiri mempunyai arti tongkon “duduk“, tempat “an” bisa dikatakan
tempat duduk tetapi bukan tempat duduk arti yang sebenarnya melainkan tempat
orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah-masalah
adat.
Rumah Toraja / Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian yang
pertama kolong (Sulluk Banua), kedua ruangan rumah (Kale Banua) dan ketiga atap
(Ratiang Banua). Pada bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di
sisi barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar
matahari dan aliran angin. Memiliki latar belakang arsitektur rumah tradisional
Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan
orang Toraja itu sendiri.
Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan
umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaan ini bisa kita
lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun rapi menjulang ke
atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk kerbau tersebut semakin
menukjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Setelah melihat dan memahami uraian – uraian di dalam makalah
ini, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Sebenarnya Indonesia
memiliki ragam kebudayaan dan suku-suku didalamnya, tetapi banyak masyarakat
yang tidak mengenal kebudayaan apa saja yang ada dinegerinya. Kebudayaan Suku Bugis - Makassar
memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Masyarakat Bugis menganggap bahwa budaya
(adat) itu keramat. Agama mayoritas orang Bugis – Makassar adalah Islam. Suku Bugis – Makassar mempunyai tiga
lapisan stratifikasi sosial masyarakat. Biasanya mereka yang berdomisili di
daerah pesisir pantai mengantungkan hidup mencari ikan di laut, dan masyarakat
Bugis – Makassar sangat piawai dalam membuat perahu pinisi. Keanekaragaman seni
di Bugis – Makassar membuat semakin kokohnya rasa kebersamaan maasyarakat di
sana. Mereka akan terus bekerja sama agar terciptanya kententraman di daerah
mereka, agar mereka semakin rukun dan tidak ada perpecahan di antara mereka.
Kebudayaan
Toraja yang sangat unik dan menarik, membuat kebudayaan Toraja lebih dikenal
dan menjadi unggulan bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Aturan
tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja,
membuat mereka lebih kokoh dan jarang sekali terjadi konflik di sana. Di Tanah Toraja
terdapat beberapa kesenian yang dapat memberikan suatu pengetahuan secara tak
langsung tentang adat dan istiadat serta pengetahuan tentang sejarah Tanah
Toraja. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh
masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di
Tana Toraja. Ekonomi Toraja secara
bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Toraja lalu dikenal
sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan
oleh pengusaha kecil.
Meskipun suku Bugis – Makassar berdekatan dengan suku
Toraja, tetapi di sana tidak pernah terjadi konflik antar suku, apalagi konflik
keagamaan. Toleransi agama di daerah Sulawesi Selatan membuat semakin akrabnya
masyarakat Sulawesi Selatan dan semakin bersatunya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3.2. Saran
Dengan penulisan laporan penelitian ini penulis
mengharapkan dapat memberikan suatu penjelasan kepada para pembaca tentang Etnografi
dan Etnolinguistik di daerah Sulawesi Selatan khusunya suku Bugis – Makassar
dan suku Toraja.
Kebudayaan Indonesia
yang beragam seharusnya tidak kita sia-siakan begitu saja, sebagai bangsa yang
mencintai tanah air, kita harus mampu melestarikan kebudayaan-kebudayaan
bangsa. Jika kita tidak mampu melestarikannya, kebudayaan yang kita miliki
semakin lama akan semakin punah. Oleh sebab itu, kita harus dapat mempelajari
sedikit banyaknya tentang kebudayaan-kebudayaan daerah, biarpun kebudayaan tersebut
bukan berasal dari daerah kita.Penulis berharap pembaca dapat
melakukan hal-hal yang ada di bawah ini :
1.
Melestarikan
kebudayaan – kebudayaan yang ada di Indonesia, jangan sampai kita lupa dengan
kebudayaan yang ada di Nusantara.
2.
Kita harus
menjaga warisan budaya nenek moyang kita.
3.
Janganlah
terjadi konflik antarsuku maupun antar agama karena akan menyebabkan
perpecahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4.
Walaupun Bangsa
Indonesia mempunyai keanekaragaman budaya, agama, suku, akan tetapi kita harus mempunyai
sikap toleransi.
5.
Harus selalu
bekerjasama menghidupkan budaya yang sudah hilang.
6.
Menjaga bahasa
daerah di negara kita.
Daftar Pustaka
Anjungan Sulawesi
Selatan – Taman Mini Indonesia Indah
Ragam Budaya Daerah