Rabu, 22 Januari 2014

Makalah Antropologi "Etnografi dan Etnolinguistik di Daerah Sulawesi Selatan"



LAPORAN HASIL PENELITIAN
“ETNOGRAFI DAN ETNOLINGUISTIK DI DAERAH SULAWESI SELATAN”

Kelas                           :  XII - Bahasa
Bidang Study             :  Antropologi
Guru Pembimbing    :  Bapak Drs. H. Sofyan Sauri




 


Madrasah Aliyah Al-Falah
Tahun Ajaran 2013/2014

Disusun oleh :
Kelompok II
1.    Ahmad Fairuzi
2.    Ardiansyah
3.    Muhamad Dzurraihan
4.    Muhammad Reza Farchan
5.    Rizki Ramadhan
 





KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum  Wr.Wb

Tiada kalam yang indah selain ucapan rasa syukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT. yang telah memberikan petunjuk bagi kami, sehingga kami telah berhasil menyelesaikan makalah ini, dalam rangka memenuhi Tugas Antropologi.

Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada junjungan yang mulia, Nabi Muhammad S.A.W beserta para keluarganya, para sahabatnya serta para pengikutnya, semoga kita mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat nanti, amien.
                       
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu kami dalam menyelesaikan Makalah ini, terutama kepada:

1.      Allah SWT
2.      Nabi Muhammad SAW
3.      Kedua orang tua kami
4.      Bapak Drs. H. Sofyan Sauri selaku guru Antropologi
5.      Teman-teman yang telah memberi dukungan

Kami menyadari, meskipun segenap kemampuan telah kami curahkan dan usaha yang maksimal telah kami lakukan, namun makalah ini masih sangat jauh dari sempurna serta masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan pada berbagi sisi.

 Kami sangat senang jika pembaca dapat memberi saran ataupun kritik. Karena kami hanya mahluk yang tidak sempurna.


Wassalamu’alaikum Wr.Wb












DAFTAR ISI


Kata Pengantar ……………………………………………….....…………………….…  i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………..…  ii
BAB I     PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ……..….…………………………………………………. 1
1.2. Tujuan Hasil Penelitian …………………….…………………..…...….… 2
1.3. Manfaat Hasil Penelitian ……………………………….………………… 3
1.4. Metode Hasil Penelitian………………………….………..……………… 3
1.5. Sistematika Penulisan ……...…………………………….……...………... 3
BAB II    Etnografi dan Etnolinguistik di Daerah Sulawesi Selatan
2.1. Etnografi dan Etnolinguistik Bugis – Makassar........................................ 4
2.1.1. Sistem Religi …………………………………………….…. 5
2.1.2. Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial ……………… 5
2.1.3. Sistem Pengetahuan ………………………………………... 6
2.1.4. Bahasa …………………………………………………….... 6
2.1.5. Kesenian …………………………………………………..... 6
2.1.6. Sistem mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi ………………...... 8
2.1.7. Sistem Tehnologi …………….....………………….……………….. 8
2.2. Etnografi dan Etnolinguistik Toraja………………………….......………..…...… 8
2.2.1. Sistem Religi ……………………………………….………. 9
2.2.2. Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial …………..… 10
2.2.3. Sistem Pengetahuan …………………………...……..……. 11
2.2.4. Bahasa ………………………………………….…..……... 11
2.2.5. Kesenian …………………………………..……….……… 12
2.2.6. Sistem mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi ……….......……. 14
2.2.7. Sistem Tehnologi ………………………………………..…......….. 14
BAB III   PENUTUP
3.1. Kesimpulan ……………………………………………………..…..….. 16
3.2. Saran …………………………………………………….……...……… 17
Lampiran ………………………………………………………………………………18
Daftar Pustaka ……………………………………………………………….....…….. 24





BAB  I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman suku, agama, dan bahasa yang memungkinkan diadakannya penelitian di ­bidang Etnografi dan Etnoliguistik. Pengetahuan dan penelitian Etnografi dan Etnolinguistik sangat bagus untuk inventarisasi, dokumentasi, dan referensi. Dalam mencari identitas bangsa Indonesia, sangat perlu menelusuri ­keberadaan Etnografi dan Etnolinguistik sebagai bagian kebudayaan bangsa.

Kebudayaan di daerah Sulawesi Selatan sebenarnya tergolong banyak, terutama suku/ etnisnya. Jika dilihat dari segi mayoritas penduduk hanya terdapat beberapa kelompok etnis besar yang berada di daerah Sulawesi Selatan. Diantaranya ; Bugis - Makassar dan Toraja. Begitu pula dalam pemakaian bahasa sehari-hari, memang kelompok etnis inilah yang terlihat lebih dominan diantara banyaknya bahasa yang digunakan etnis minoritas yang ada di Sulawesi Selatan.

Suku Bugis - Makassar adalah salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan yang memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Salah satu kekayaan Bugis ialah folklor. Folklor dalam masyarakat Bugis biasanya ditrasmisikan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui penuturan lisan.

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya di Yunan.

Sementara itu, suku Toraja banyak memiliki ciri khas salah satunya adalah kebudayaan adat Tana Toraja yang sangat menarik dan juga ditambah lagi banyaknya publikasi dari beberapa stasiun televise lokal dan swasta, dan juga program pariwisata daerah, sehingga membuat adat Tana Toraja lebih dikenal dan menjadi unggulan oleh masyarakat dari dalam dan luar negeri.

1.2  Tujuan Hasil Penelitian

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk wawasan kepada pembaca tentang kebudayaan – kebudayaan yang ada di daerah Sulawesi Selatan. Diantaranya :

1.      Sistem religi
2.      Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial
3.      Sistem pengetahuan
4.      Bahasa
5.      Kesenian
6.      Sistem mata pencaharian hidup/sistem ekonomi
7.      Sistem tehnologi

Dalam hal ini, kebudayaan merupakan hal yang begitu sangat kompleks dalam masyarakat, karena dalam kebudayaan itu mengandung banyak arti tentang interaksi setiap individu dengan individu meupun dengan kelompok tersebut.
Kebudayaan itu sendiri adalah hasil dari hasil cipta, rasa, dan karsa  manusia.  Setiap kebudayaan pun sangat erat kaitannya dengan kehidupan suatu kelompok di suatu tempat, karena setiap berbedanya tempat kelompok tinggal, berbeda pula kebudayaan yang di anut kelompok tersebut.
Kebudayaan diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengatasi berbagai problem yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui suatu proses berfikir yang diekspresikan kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud kebudayaan manusia adalah tulisan. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.
Masih banyak hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan yang tidak  akan ada habisnya, dan masih banyak misteri  dalam setiap kebudayaan yang ada hingga saat ini.

1.3.Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.  Membantu siswa dan siswi untuk memahami kebudayaan lokal
1.      Membantu siswa - siswi dalam melestarikan nilai-nilai budaya yang di miliki suku – suku yang ada di daerah Sulawesi Selatan.
2.      Memberikan manfaat bagi siswa dan siswi dalam mengkaji nilai-nilai budaya dalam suku – suku yang ada di daerah Sulawesi Selatan.
3.      Memberikan sumbangsi pemikiran terhadap penggunaan bahasa – bahasa daerah Sulawesi Selatan untuk siswa dan siswi bagi penelitian, akademisi, dan lain-lain.
4.      Sebagai bahan perbandingan bagi pihak yang ingin meneliti kebudayaan di daerah Sulawesi Selatan.

1.4.Metode Penulisan

Metode yang penulis gunakan adalah adalah metode observasi dan metode interview, yaitu melakukan pengamatan dan melakukan wawancara terhadap narasumber.

1.5.Sistematika Penulisan

Sistematika karya tulis ini terdiri dari kata pengantar, daftar isi, Bab I tentang pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan, manfaat, metode, dan sistematika. Bab II yang berhubungan dengan Etnografi dan Etnolinguistik di Daerah Sulawesi Selatan yang terdiri dari sistem religi, sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian/sistem ekonomi, sistem tehnologi. Bab III tentang kesimpulan dan saran-saran yang diakhiri dengan daftar pustaka.




BAB  II
Etnografi dan Etnolinguistik di Daerah Sulawesi Selatan
Kebudayaan adalah hasil manusia baik yang bersifat materi, maupun yang nonmateri. Seperti detailnya bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem matapencaharian hidup (ekonomi); peralatan hidup (tehnologi); ilmu pengetahuan; sistem sosial;bahasa; kesenian; dan sistem religi. Jika dihubungkan dengan sejarah, maka kebudayaan sangat erat kaitannya karenasejarah adalah suatu ilmu yang selalu membahas ketujuh unsur kebudayaan dilihat dari waktunya.
Kebudayaan di daerah Sulawesi Selatan sebenarnya tergolong banyak, terutama suku/ etnisnya. Jika dilihat dari segi mayoritas penduduk hanya terdapat beberapa kelompok etnis besar yang berada di daerah Sulawesi Selatan. Diantaranya ; Bugis - Makassar dan Toraja. Begitu pula dalam pemakaian bahasa sehari-hari, memang kelompok etnis inilah yang terlihat lebih dominan diantara banyaknya bahasa yang digunakan etnis minoritas yang ada di Sulawesi Selatan.

2.1. Etnografi dan Etnolinguistik Bugis – Makassar
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

2.1.1. Sistem Religi
Agama mayoritas orang Bugis – Makassar adalah Islam. Selain itu ada juga yang beragama Kristen Protestan dan Katolik.
Masyarakat Bugis banyak tinggal di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Mereka penganut Islam yang taat. Masyarakat Bugis juga masih percaya dengan satu dewa tunggal yang mempunyai nama-nama sebagai berikut.
  1. Patoto-e adalah dewa penentu nasib.
  2. Dewata Seuwa-e adalah dewa tunggal.
  3. Turie a’rana adalah kehendak tertinggi.
Masyarakat Bugis menganggap bahwa budaya (adat) itu keramat. Budaya (adat) tersebut didasarkan atas lima unsur pokok panngaderreng (aturan adat yang keramat dan sakral), yaitu sebagai berikut.
  1. Ade (‘ada dalam bahasa Makassar).
  2. Bicara.
  3. Rapang.
  4. Wari’.
  5. Sara’.
2.1.2.      Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial
Dalam stratifikasi sosial masyarakat Bugis – Makassar ada tiga lapisan masyarakat :
1.      Anakarung, yaitu lapisan kaum kerabat raja
2.      To-maradeka, yaitu lapisan orang merdeka yang sebagian besar merupakan rakyat Sulawesi Selatan.
3.      Ata, yaitu lapisan budak .
Perkawinan yang ideal di Makassar sebagai berikut.
  1. Assialang Marola adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu baik dari pihak ayah/ibu.
  2. Assialanna Memang adalah perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua baik dari pihak ayah/ibu.
Perkawinan yang dilarang adalah perkawinan anak dengan ayah/ibu dan menantu dengan mertua.
                                                      
Kegiatan-kegiatan sebelum perkawinan, meliputi:
  1. Mappuce-puce adalah meminang gadis,
  2. Massuro adalah menentukan tanggal pernikahan,
  3. Maddupa adalah mengundang dalam pesta perkawinan.
Perkawinan yang biasa ada di Bugis – Makassar disebut Mapabothi
2.1.3.      Sistem Pengetahuan
Lontar adalah salah satu tumbuhan di daerah Bugis – Makassar, lontar adalah sejenis palma yang tumbnuh di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Burung Rangkong Julang Sulawesi yang tergabung dalam marga Bucerotidae adalah salah satu hewan yang ada di Sulawesi Selatan. Di sana juga ada tanaman kopi, coklat, cengkeh, rotan, kayu, semen, nikel, gula.

2.1.4.      Bahasa
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan. Bahasa tersebut tersebar di berbagai kabupaten di daerah Sulawesi Selatan.

2.1.5.      Kesenian
Kesenian Bugis yang merupakan salah satu yang terkenal dari karya sastra Bugisadalah naskah tua I La Galigo. Lagu daerah propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan di antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu Pakarena serta lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnis Bugis adalah lagu Indo Logo, serta lagu Bulu AlainaTempe.
Rumah tradisional atau rumah adat di propinsi Sulawesi Selatan yang berasal dari Bugis, Makassar dan Tana toraja dari segi arsitektur tradisional ke tiga daerah tersebut hampir sama bentuknya. Rumah-rumah adat tersebut dibangun di atas tiang-tiang sehingga rumah adat yang ada di sana mempunyai kolong di bawah rumahnya.

Tinggi kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk tiap tingkatannya dengan status sosial pemilik rumah, misalnya apakah seorang raja, bangsawan, orang berpangkat atau hanya rakyat biasa. Hampir semua masyarakat Sulsel percaya kalau selama ini penghuni pertama zaman prasejarah di Sulawesi Selatan adalah orang "Toale". Hal ini di dasarkan pada temuan Fritz dan Paul Sarasin tentang orang Toale (orang-orang yang tinggal di hutan/penghuni hutan).
Rumah adat suku bangsa Bugis Makassar berupa panggung yang terdiri atas 3 bagian sebagai berikut :
  1. Kalle balla adalah untuk tamu, tidur,dan makan.
  2. Pammakkang adalah  untuk menyimpan pusaka.
  3. Passiringang adalah  untuk menyimpan alat pertanian.

Tari Padupa Bosara merupakan sebuah tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis kedatangan atau dapat dikatakan sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedatangan tamu senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.
Di daerah Bugis – Makassar mempunyai seni drama  / seni pertunjukan yaitu lagaligo dan icudae.
Alat musik di daerah Bugis – Makassar yaitu Kacapi (kecapi), alat musik ini adalah alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun. Sedangkan Sinrili adalah alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan membaringkan di pundak sedang sinrili di mainkan dalam keedaan pemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
Gendang adalah alat musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana. Sedangkan suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco), sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang.  Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau disebut juga acara penjemputan tamu.

2.1.6.      Sistem mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi
Masyarakat Bugis – Makassar yang berdomisili di daerah pesisir pantai menggantungkan hidup dari melaut di laut, mencari ikan. Keberaniaan orang Bugis – Makassar dalam  dalam pelayaran yang dijunjung tinggi oleh orang-orang bugis-makassar,yaitu yang dikenal dengan ade`allopiloping bicaranna pabbalu’e dan yang ditulis pada lontar yaitu amanna gappa di abad ke-17.
2.1.7.      Sistem Tehnologi
Masyarakat Bugis – Makassar terkenal sangat piawai dalam membuat perahu pinisi. Tehnologi di daerah Bugis – Makassar sudah sangat canggih, alat transportasi di sana antara lain ; becak, dokar, perahu, mobil, dan lain-lain. Perahu di sana mempunyai tiga kegunaan, yaitu ; untuk mengangkut barang (bakgo), untuk mencari ikan, untuk mengangkut orang dari satu tempat ke tempat yang lain (pinisi). Pakaian daerah Bugis –Makassar adalah baju Bodo, senjata daerahnya adalah badik.


2.2. Etnografi dan Etnolinguistik Toraja
Menurut data sejarah, penduduk yang pertama-tama menduduki/mendiami daerah Toraja pada zaman purba adalah penduduk yang bergerak dari arah Selatan dengan perahu. Mereka datang dalam bentuk kelompok yang dinamai Arroan (kelompok manusia). Setiap Arroan dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamai Ambe' Arroan (Ambe' = bapak, Arroan = kelompok). Setelah itu datang penguasa baru yang dikenal dalam sejarah Toraja dengan nama Puang Lembang yang artinya pemilik perahu, karena mereka datang dengan mempergunakan perahu menyusuri sungai-sungai besar. Pada waktu perahu mereka sudah tidak dapat diteruskan karena derasnya air sungai dan bebatuan, maka mereka membongkar perahunya untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Tempat mereka menambatkan perahunya dan membuat rumah pertama kali dinamai Bamba Puang artinya pangkalan pusat pemilik perahu sampai sekarang.

Hingga kini kita akan melihat disekitar Ranteapo terdapat beberapa Bamba Puang milik keluarga-keluarga paling berpengaruh dan terkaya disitu yang mendirikan Tongkonan (rumah adat Tator) beserta belasan lumbung padinya. Setiap Tongkonan satu keluarga besar dihiasi oleh puluhan tanduk kerbau yg dipakai untuk menjelaskan status sosial dalam strata masyarakat adat. Tongkonan itulah yang menjadi atraksi budaya dan menjadi obyek foto ratusan turis yang mendatangi tator.

2.2.1.      Sistem Religi
Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepecayaan.
Dalam hal kepercayaan penduduk Suku Toraja telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Puang Matua (Tuhan yang maha mulia). Penganut Aluk Todolo relatif terbuka terhadap modernisasi dan dunia luar. Mereka meyakini, aturan yang dibuat leluhurnya akan memberikan rasa aman, mendamaikan, menyejahterakan, serta memberi kemakmuran warga.
Kepercaan Aluk Todolo bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk Todolo mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk Todolo bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya.
Di Tana Toraja tradisi menghormati kematian dikenal dengan upacara Rambu Solo'. Persamaan dari ketiganya: ritual upacara kematian dan penguburan jenazah. Di Tana Toraja sendiri memiliki dua upacara adat besar yaitu Rambu Solo' dan Rambu Tuka. Rambu Solo' merupakan upacara penguburan, sedangkan Rambu Tuka, adalah upacara adat selamatan rumah adat yang baru, atau yang baru saja selesai direnovasi.

Upacara ini bagi masing-masing golongan masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari.

2.2.2.      Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial

Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang. 

Kelas Sosial 
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. 

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki. 
2.2.3.      Sistem Pengetahuan

Di Tanah Toraja  terdapat beberapa kesenian yang dapat memberikan suatu pengetahuan secara tak langsung tentang adat dan istiadat serta pengetahuan tentang sejarah Tanah Toraja.DiantaranyakesenianupacaraRambuTuka’.

Upacara syukuran atau Rambu Tuka’, antara lain adalah upacara perkawinan, maupun selamatan rumah (membangun rumah, merenovasi atau memasuki rumah baru). Upacara selamatan rumah disebut juga upacara pentahbisan rumah. Upacara jenis ini harus dilaksanakan pagi hari dan diharapkan selesai di sore hari. Pemotongan hewan korban juga dilakukan, namun jumlahnya tidak sebanyak saat upacara kematian. Itu juga yang menyebabkan banyak anggapan bahwa upacara kematian di Tator memang lebih meriah dibandingkan upacara lainnya

2.2.4.      Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja. 

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja. 

2.2.5.        Kesenian
Ukiran Kayu 

Melihat Rumah Adat Tongkonan Toraja, yang sangat menarik adalah variasi gambar dan simbol yang diukir menghiasi semua bagiannya. Ukiran-ukiran tersebut untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Pa’ssura (Penyampaian). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja. Pola yang terukir memiliki makna dengan presentase simbol tertentu dari pemilik atau rumpun keluarga yang punya nilai magis. Ukiran-ukiran Toraja itu diyakini memiliki kekuatan alam atau supranatural tertentu. 

Diperkirakan, tidak kurang dari 67 jenis ukiran dengan aneka corak dan makna. Warna-warna yang dominan adalah merah, kunig, putih dan hitam. Semua sumber warna berasal dari tanah liat yang disebut Litak kecuali warna hitam yang berasal dari jelaga atau bagian dalam pisang muda. Pencipta awal mula ukiran-ukiran magis ini diyakini dari Ne’ Limbongan yang mana simbolnya adalah berupa lingkaran berbatas bujur sangkar bermakna mata angin.

Setiap pola ukiran abstrak punya nama dan kisah antara lain motif “empat lingkaran yang ada dalam bujur sangkar” biasanya ada di pucuk rumah yang melambangkan kebesaran dan keagungan. Makna yang terkandung dalam simbol-simbol itu antara lain simbol kebesaran bangsawan ( motif paku), simbol persatuan (motif lingkaran 2 angka delapan), simbol penyimpanan harta ( motif empat lingkaran berpotongan dan bersimpul) dll. Selain motif-motif abstrak itu, beragam pula pola-pola yang realistis mengikuti bentuk binatang tertentu antara lain burung bangau (motif Korong), motif bebek ( Kotte), Anjing ( motif Asu), Kerbau ( Tedong), Babi ( Bai) dan ayam ( Pa’manuk Londong).

Musik dan Tarian 
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.
 Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Musik Tradisional
§ Passuling
§ Pa’pelle/Pa’barrung
§ Pa’pompang/Pa’bas
§ Pa’tulali
§ Pa’geso’geso’

Lagu-Lagu khas Toraja
§ Siulu’
§ Lembang Sura’
§ Marendeng Marampa’
§ Siulu’ Umba Muola
§ Passukaranku
§ Katuoan Mala’bi’
§ Susi Angin Mamiri
§ Kelalambunmi Allo
§ Tontong Kukilalai


2.2.6.      Sistem mata pencaharian hidup/ sistem ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja. 

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

2.2.7.      Sistem Tehnologi
Rumah Adat Toraja disebut Tongkonan. Tongkonan sendiri mempunyai arti tongkon “duduk“, tempat “an” bisa dikatakan tempat duduk tetapi bukan tempat duduk arti yang sebenarnya melainkan tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah-masalah adat.
Rumah Toraja / Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian yang pertama kolong (Sulluk Banua), kedua ruangan rumah (Kale Banua) dan ketiga atap (Ratiang Banua). Pada bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari dan aliran angin. Memiliki latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja itu sendiri. 

Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk kerbau tersebut semakin menukjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah. 















BAB  III
PENUTUP

3.1.    Kesimpulan
Setelah melihat dan  memahami uraian – uraian di dalam makalah ini, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Sebenarnya Indonesia memiliki ragam kebudayaan dan suku-suku didalamnya, tetapi banyak masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan apa saja yang ada dinegerinya. Kebudayaan Suku Bugis - Makassar memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Masyarakat Bugis menganggap bahwa budaya (adat) itu keramat. Agama mayoritas orang Bugis – Makassar adalah Islam. Suku Bugis – Makassar mempunyai tiga lapisan stratifikasi sosial masyarakat. Biasanya mereka yang berdomisili di daerah pesisir pantai mengantungkan hidup mencari ikan di laut, dan masyarakat Bugis – Makassar sangat piawai dalam membuat perahu pinisi. Keanekaragaman seni di Bugis – Makassar membuat semakin kokohnya rasa kebersamaan maasyarakat di sana. Mereka akan terus bekerja sama agar terciptanya kententraman di daerah mereka, agar mereka semakin rukun dan tidak ada perpecahan di antara mereka.
Kebudayaan Toraja yang sangat unik dan menarik, membuat kebudayaan Toraja lebih dikenal dan menjadi unggulan bagi masyarakat dalam dan luar negeri. Aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, membuat mereka lebih kokoh dan jarang sekali terjadi konflik di sana. Di Tanah Toraja  terdapat beberapa kesenian yang dapat memberikan suatu pengetahuan secara tak langsung tentang adat dan istiadat serta pengetahuan tentang sejarah Tanah Toraja. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja. Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Toraja lalu dikenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
Meskipun suku Bugis – Makassar berdekatan dengan suku Toraja, tetapi di sana tidak pernah terjadi konflik antar suku, apalagi konflik keagamaan. Toleransi agama di daerah Sulawesi Selatan membuat semakin akrabnya masyarakat Sulawesi Selatan dan semakin bersatunya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.2.   Saran
Dengan penulisan laporan penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan suatu penjelasan kepada para pembaca tentang Etnografi dan Etnolinguistik di daerah Sulawesi Selatan khusunya suku Bugis – Makassar dan suku Toraja.
Kebudayaan Indonesia yang beragam seharusnya tidak kita sia-siakan begitu saja, sebagai bangsa yang mencintai tanah air, kita harus mampu melestarikan kebudayaan-kebudayaan bangsa. Jika kita tidak mampu melestarikannya, kebudayaan yang kita miliki semakin lama akan semakin punah. Oleh sebab itu, kita harus dapat mempelajari sedikit banyaknya tentang kebudayaan-kebudayaan daerah, biarpun kebudayaan tersebut bukan berasal dari daerah kita.Penulis berharap pembaca dapat melakukan hal-hal yang ada di bawah ini :
1.      Melestarikan kebudayaan – kebudayaan yang ada di Indonesia, jangan sampai kita lupa dengan kebudayaan yang ada di Nusantara.
2.      Kita harus menjaga warisan budaya nenek moyang kita.
3.      Janganlah terjadi konflik antarsuku maupun antar agama karena akan menyebabkan perpecahan  Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.      Walaupun Bangsa Indonesia mempunyai keanekaragaman budaya, agama, suku, akan tetapi kita harus mempunyai sikap toleransi.
5.      Harus selalu bekerjasama menghidupkan budaya yang sudah hilang.
6.      Menjaga bahasa daerah di negara kita.






















Daftar Pustaka
Anjungan Sulawesi Selatan – Taman Mini Indonesia Indah
Ragam Budaya Daerah